kesenangan sejati adalah bila dapat membahagiakan dirinya, keluarganya dan orang yang disekitarnya.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat datang di situs KUA Kecamatan Tapaktuan.

Sebagai jari-jari manis dan ujung tombak Departemen Agama di tingkat kecamatan, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tapaktuan berusaha memberikan pelayanan, bimbingan dan perlindungan terhadap kehidupan masyarakat dalam beragama, terutama bagi kaum muslimin di wilayah kerjanya, Tak pelak lagi, dalam kapasitas strukturalnya, keberadaan KUA Tapaktuan memiliki peran dan fungsi yang cukup urgen dan sangat strategis.

Di sisi lain, secara sosio-kultural dan sosio-religius, keberadaan KUA Tapaktuan merupakan representasi masyarakat dalam membangun dan menciptakan tatanan kehidupan yang dilandasi semangat moral, spiritual dan akhlakul karimah dalam keberlangsungan interaksi sosial di tengah masyarakat. Tentu saja, tugas dan peran KUA semacam ini merupakan tugas yang berat karena ia merupakan amanat moral dan sosial. Meski demikian, dengan segala keterbatasan dan plus minusnya, KUA Tapaktuan terus berupaya melakukan pembenahan internal dalam menutupi semua kekurangan, dan mengejar ketertinggalan dalam rangka memaksimalkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang diembankan KUA dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus mengglobal.

Situs yang sedang anda saksikan saat ini diharapkan dapat menjadi pedoman gambaran tentang KUA Tapaktuan dan kiprahnya dalam membangun umat sekaligus media untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat menuju pelayanan prima yang diidam-idamkan sebuah lembaga pemerintahan.

Semoga situs ini bermanfaat bagi anda dan jika anda belum menemukan informasi yang anda butuhkan, anda dapat menghubungi kami melalui telpon 0656 - 323553 atau e-mail kuatapaktuan@gmail.com. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Khairuddin,S.Ag


Ka KUA Tapaktuan

Minggu, 07 April 2013

Pluralisme Antara Problem dan Solusi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, persoalan pluralisme masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu pluralisme telah lama hadir, bahkan bisa dikatakan setua usia manusia dan akan ada selama kehidupan belum usai, hanya saja terus menerus akan berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menjalani kehidupan yang majemuk secara ilmiah dan wajar apa adanya. Namun seiring dengan kepentingan ideologis, sosial, politik, dll., realitas pluralisme berada pada puncak kesadaran dan menjadi pusat perhatian. Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim. Bahkan memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Menarik, dalam artian memprihatinkan karena persoalan itu terjadi di Indonesia, yang notabene bukan negara agama, tetapi yang selalu mengatakan religius; bukan pula negara sekuler, tetapi yang semakin terbuka kepada modernisasi; bukan juga negara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi, tetapi yang berdasarkan pada Pancasila, yang menjunjung tinggi demokrasi. Negara yang lahir dan terbentuk dari dan oleh masyarakat plural, termasuk di dalamnya adalah pluralitas agama. Sebuah fakta dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dengan Pluralisme. Terlebih lagi ketika MUI pada bulan Juli 2005 yang lalu mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah mencuat ke permukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak maupun elektronik. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan kesalahpahaman pemaknaan pluralisme agama-budaya, perbedaan di dalam memahami isyarat-isyarat ayat Al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama. Lalu sebenarnya hal apakah yang menjadikan pluralisme itu muncul dan meroket menjadi sesuatu yang sangat penting? Mengingat hal itu, maka penulis mencoba untuk memaparkan Pluralisme antara problem dan solusi. B. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi pluralisme agama? 2. Mengapa terjadi pluralisme agam? 3. Mengapa ada pluralisme dalam agama islam? 4. Bagaimanakah pandangan kaum agamawan tentang pluralisme? Bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah (Cheryl Bernard). Periode awal Orde Baru nampaknya saat ini sedang berulang, proses stigmatisasi bahwa Islam adalah agama yang intoleran dan penuh kekerasan tengah berjalan. Kalau di jaman Orde Baru kita mengenal Komando Jihad, Teror Warman, Kasus Imran, Tanjung Priok dan Warsidi, maka saat baru-baru ini kita dipaksa melihat insiden Cikeusik, Cikeuting, pemboman gereja, dan berbagai peristiwa lain dimana meski tidak eksplisit tapi semua telunjuk diarahkan kepada Islam dan Umat Islam. Dan seperti sebuah koor, mulai dari akademisi, aktifis LSM, artis, seniman, eksekutif maupun legislatif berkhotban tentang perlunya pluralisme. Pluralisme menjadi katasuci dan sakti, dimana mereka yang tidak menyetujuinya akan langsung dicap sebagaiintoleran dan anti kemajemukan/keberagaman. Sampai-sampai Hanung Bramantyo yang mensutradarai film “Sang Pencerah” pun merasa perlu melakukan pertaubatan pada pluralisme dengan membuat film “?”. Oleh karena itu, membedah apa itu Pluralisme menjadi urgen bagi umat Islam, sebab dalam Islam kita dilarang untuk mengikuti sesuatu yang kita tanpa ilmu tentangnya. Pluralisme dan Problem Sektarianisme Kristen Barat Saat ini Pluralisme dan derivatnya seperti multikulturalisme tengah menjadi sentral dalam kajian ilmu-ilmu humaniora/sosial. Sehingga kita dapat melihat, seperti sebuah istighosah semua pihak berebutan untuk menggelar diskusi, seminar bahkan pengajian bertema pluralisme. Sayangnya, masing-masing berjalan dengan asumsi masing-masing bahkan cenderung melakukan simplifikasi ilmiah dengan menafsirkan pluralisme sekedar menjadi kemajemukan, keberagaman ataupun kerukunan antar umat. Padahal pluralisme sendiri lahir dari sebuah proses panjang peristiwa kesejarahan di peradaban Barat. Sebagai sebuah ilmu, pada dasarnya ia adalah hasil (by product) dari pandangan hidup (worldview) suatu bangsa, agama atau peradaban tertentu. Artinya, setiap ilmu, jika dicermati prinsip-prinsip etimologisnya, menunjukkan muatan nilai yang bersumber dari pandangan hidup suatu bangsa, agama dan peradaban. Sebagai contoh, ilmu sosiologi atau psikologi yang berkembang di Amerika berbeda dari Rusia, ilmu Fiqih tidak ada dalam peradaban India. Demikian pula jika prinsip-prinsip epistemologi ilmu pengetahuan kontemporer yang berasal dari peradaban Barat moder atau postmodern, jika dicermati maka akan didapati di dalamnya nilai-nilai Barat[1]. Selain itu, yang perlu digaris bawahi adalah ada perbedaan yang mendasar antara konsep epistemology Barat dan prinsip-prinsip epistemology Islam. Di Barat, ilmu tidak lahir dari pandangan hidup (worldview) agama tertentu. Sebab hubungan antara agama dan sains di Barat memang problematic. Sejarah peradaban Barat menunjukkan bahwa relasi antara wahyudan akal di Barat sangat problematis, penuh catatan kelam dan berakhir dengan superioritas akal sehingga melahir worldview yang sekuler. Kekecewaan-kekecawan para filosof Barat terhadap Sejarah Kelam dominasi gereja telah melahirkan orang seperti Nietcze yang memproklamirkan kematian Tuhan ataupun Marx yang memandang agama sebagai candu yang meninabobokan kaum tertindas. Berkebalikan dari apa yang terjadi di Barat, dalam catatan sejarah Islam menunjukkan bahwa prinsip-prinsip epistemology Islam berasal dari peradaban Islam yang tentu saja sarat dengan nilai-nilai keislaman. Pertentangan antara akal dan wahyu memang sempat mewarnai, namun tidak sampai melahirkan tragedy sebab pada dasarnya dalam pandang yang tauhidi, antara wahyu yang diturunkan/tanzil (divine book) dengan ilmu tentang alam semesta (Created Book) berada dalam satu sunnatullah yang sama karena diciptakan oleh Al Khaliq yang sama pula. Oleh karena itu dalam Islam justru anjuran/perintah mengamati gejala alam dan bertafakur di dunia keilmuan justru akan mengantarkan orang pada keimanan yang lebih dalam. Sehingga dalam pandangan Islam, ilmu itu mustahil sekuler. Dalam kasus pluralisme di peradaban Barat ini setidaknya ada tiga penyebab utama yang menjadi penyebab kemunculannya. Pertama, problema teologis Kristen, kedua, problema teks Bible, ketiga trauma sejarah[2]. Ketiga hal tersebut berjalin kelindan, jadi satu problem terkait dengan problem yang lain bahkan satu problem memunculkan problema yang lain. Dr. C. Groenen, ofm, seorang teolog asal Belanda mencatat bahwa seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi suatu problem[3]. Konsep Teos dalam pandangan Barat adalah Tuhan yang bisu, yang tidak bisa menjelaskan dirinya, sehingga dibutuhkan ilmu tentang tuhan (teologi). Selain itu, ketika agama Kristen akhirnya diterima sebagai agama resmi di kekaisaran Romawi yang basic of teology nya masih didominasi paganisme yang bertumpu pada keyakinan terhadap para dewa,akulturasi atau sinkretisme antara keduanya terjadi. Dari sinilah kemudian kita kenal pertarungan antara kelompok Arius dan Athanatius terjadi[4]. Antara mereka yang percaya pada konsep ketuhanan Yesus, sebagai sebuah inkarnasi sempurna dan Allah Bapa dan mereka yang percaya bahwa Yesus lebih bersifat manusiawi disbanding ilahi. Juga terjadi adopsi beberapa tradisi pagan menjadi resmi Kristen, seperti peringatan kelahiran Sol Invictus(dewa matahari) menjadi peringatan kelahiran Yesus (natal), perubahan hari suci dari Sabbath menjadi Minggu (Sun Day, hari matahari). Problem teks Bible tidak kalah rumitnya dibanding problem teologinya. Sebab Bible merupakan sumber utama dari ajaran Kristen, dikarenakan Kristen memang tidak punya sanad sampai ke Yesus. Oleh karena itu sangat tepat bila Islam menyebut mereka sebagai ahli kitab, bookish. Istilah ini diamini oleh Bart D Erhman dalam bukunya yang berjudul Misquoting Jesus,Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru, menyebut agama Kristen sebagai Agama Buku. Dari sisi sumber, saat ini ada sekitar 5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam agama Greek. Oleh karena itu meski pada awalnya Bible hendak diperkenalkan firman Tuhan sebagaimana Al Qur’an dimana lafadz dan maknanya langsung dari Allah, namun mengingat perbedaan satu dengan yang lainnya akhirnya definisi kitab suci diubah menjadi penulisnya disebut sebagai orang yang dibimbing Tuhan (inspired by God) [5]. Secara lebih mendasar, Richard Elliot Friedman menyatakan bahwa hingga kini, siapa yang sebenarnya menulis Bible masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainly who produced the book that has played a central role in our civilization)[6]. Pasca Konsili Nikea dan dimulainya Kristen menjadi sebuah organized religion yang diorganisir oleh Kepausan di Roma, problem-problem tersebut tidak mencuat menjadi besar. Sebab seperti kata Smouck Hurgronje, Katolik merupakan agama yang bisa mendamaikan unsur-unsur yang bertentangan dalam dirinya. Pada tahun 313 M, Kaisar Konstantine mengeluarkan Edict of Milan. Dengan dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama Negara (state religion) daro Imperium Romawi (Roman Empire)[7]. Pada abad pertengahan Eropa, lembaga kepausan adalah satu-satunya “penafsir resmi” agama nashrani. Ketika kekaisaran Romawi hancur, kePausan meraih kekuatan dan signifikansinya. Namun, nampaknya sudah menjadi tabiat dari sejarah Kekristenan yang selalu diwarnai perpecahan (skisma) dan kekafiran (heretic) antar kelompok yang berbeda pemahaman yang berujung pada peperangan, persekusi (pembantaian) dan inkuisisi. Pertentangan antara Arius dan Athanatius yang berujung pada mpersekusi terhadap kelompok Arius. Kemudian, di akhir era dominasi gereja, Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus. Martin Luther mengkritik praktik jual beli surat pengampunan dosa. Pada tanggal 31 Oktober 1957, Martin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 (Ninety-five theses) poin pernyataan di pintu gerejanya di Jerman. Dalam poin-poin tersebut Martin Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus yang dikatakan telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun Luther akhirnya mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajarannya sendiri terlepas dari kekuasaan Paus[8]. Pasca Luther, muncul beberapa tokoh yang melanjutkan reformasi di tubuh gereja diantaranya adalah Johanes Calvin dan Zwingly. Pertarungan antara kelompok ortodhox yang diwakili gereja Katolik dengan kelompok reformasi yang menyebut dirinya Protestan itu membuat benua Eropa terbelah menjadi dua kekuatan besar yang saling bertikai, berperang, dan saling bunuh secara massal. Peristiwa yang melegenda diantaranya adalah “The St. bartholomew’s Day Massacre”. Peristiwa ini merupakan salah satu konflik yang paling mengerikan dimana terjadi pembantaian penganut Protestan, terutama kaum Calvinis oleh pemeluk Katolik di Paris pada tahun 1572. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu, jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat laki-laki, wanita dan anak-anak yang membusuk[9]. Sebelum terjadinya perpecahan inipun proses persekusi juga terjadi pada mereka yang tidak sejalan dengan garis teologi gereja Katolik seperti yang terjadi pada kelompok Cathary. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism yang percaya karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak pernah menjelma menjadi manusia. Karena itu Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya” dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan, Paus Innocent III menyerukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. Persekusi dan Inkuisisi ini juga ditimpakan pada kaum muslimin dan yahudi. Pada tahun 1452 (500 tahun silam) telah terjadi dua peristiwa besar. Pertama, tanggal 2 Januari 1942 adalah saat orang-orang Moor (muslim) menyerah di Granada terhadap Spanyol Kristen. Di bawah paksaan “persetujuan untuk menyerah” (inquisition), semua orang Moor (muslim) yang telah dikuasai diperbolehkan untuk tinggal di kawasan itu dengan tetap beragama atau berpindah ke agama Kristen atau berimigrasi paksa ke Afrika. Akan tetapi 10 tahun kemudian persetujuan itu dibatalkan begitu saja oleh Kerajaan Spanyol yaitu oleh Ratu Isabella dari Castile dan Raja Ferdinand dari Aragon, dan sejak itu semua orang muslim dipaksa untuk memeluk Kristen atau mati digantung, atau jika sempat, lari dari tempat tinggal mereka. Kedua, tanggal 2 Agustus 1492 (sehari sebelum Colon?Colombus berlayar dari Palos) dikeluarkan perintah pengusiran terhadap seluruh penduduk Yahudi dari Spanyol. Sebanyak 120.00 – 150.000 orang dipaksa meninggalkan tanah merekan yang telah didiami selama bergenerasi-generasi. Mereka hanya boleh membawa barang pribadinya selain emas, perak, permata dan uang yang harus ditinggalkan untuk kerajaan Spanyol dan antek-anteknya. Pada abad XV kematian terjadi setiap hari, dan merembet ke seluruh daerah, brutalitas merupakan peristiwa yang biasa saja. Kondisi ini digambarkan oleh Kirkpatrick Sale di dalam The Conquest of Paradise : Christhoper Columbus and The Columbian Legacy : “Pada tingkatan yang lebih tinggi terdapat kekerasan yang disponsori oleh Gereja yanngg dikenal sebagai inquisisi yang dilaksanakan secara sistematis dan kejam, yang dilaksanakan dengan pedang atau siksaan dan auto da-fe terhadap hal yang tidak bisa dilaksanakan dengan kata atau do’a yang di bawah yuridiksinya jutaan orang dipasung di bawah tanah, dan yang di bawah dekritnya ratusan bahkan ribuan orang terbunuh. Inquisisi di Spanyol merupakan peristiwa paling brutal selama abad XV, sebagian dikarenakan kebijakan tersebut di bawah kendali kerajaan Castile dan Aragon yang sangat fanatic[10]. Ketika dominasi gerja tumbang dan Eropa memasuki era renaissance dimana para intelektual menduduki posisi sentral dalam masyarakat, para ilmuwan social merumuskan konsep untuk meredam konflik sektarian tersebut. Dari sinilah gagan toleransi kemudian muncul, toleransi mengandung makna membiarkan orang yang berbeda untuk hidup sesuai dengan keyakinannya. Namun toleransi ternyata belum cukup sebab masyarakat masih terbelah, padahal dalam kehidupan masyarakat diperlukan kerjasama yang aktif antar berbagai pihak, sehingga muncullah konsep pluralisme. Oleh karena itu dalam catatan Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, pluralisme masih memiliki ambiguitas makna bahkan cenderung kontradiktif. Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak.[11] Di satu sisi pluralisme diartikan sebagai istilah lain dari toleransi namun disisi lain pluralisme lebih tepat diartikan sebagai penjabaran doktrin relativisme. Dalam perkembangannya ada dua aliran besar yang menjadi arus utama penganut paham pluralisme, yaitu madzhab Global Teology yang dipelopori oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith dan madzhab perrenialisme yang digagas oleh Frtjhof Squon dan Sayyed Hossein Nashr. [Arif Wibowo] ________________________________________ [1] Hamid Fahmi Zarkasyi, MA, Dr., Epistemologi Dalam Pemikiran Islam, sebuah Pengantar¸Jurnal Islamia Tahun II No. 5/April-Juni 2005. Hal 5-6. [2] Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, [Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Ponorogo, 2007], hal. 3 [3] C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi : Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen, (Yogyakarta:Kanisius, 1988) hal. 286 [4] Proses evolutif perubahan pusat “peribadatan” penganut Kristen ini secara apik dipaparkan oleh Karen Amstrong dalam buku Sejarah Tuhan (Mizan : Bandung, 2006), “Sekitar tahun 320 M, gairah teologis yang membara merasuki gereja-gereja di Mesir, Syiria dan Asia Kecil. Para pelaut dan pelancong melantunkan senandung masyhur yang menyatakan Tuhan yang sejati hanyalah Sang Bapa, yang tidak dapat dijangkau dan unik, tetapi sang Putra tidaklah abadi dan bukannya tidak diciptakan, karena mendapat kehidupan dan wujud dari sang Bapa” (hal 155). Namun setelah ditetapkannya konsep teologi resmi melalui konsili Nicea, konsep itu berubah. Pertarungan antara Arius dan Athanatius yang dimenangkan oleh Athanatius dengan dukungan kaisar Konstantin yang pagan itu menetapkan bahwa sang Putra adalah sehakikat dengan sang Bapa. “Hanya dengan cara turut serta dalam Tuhan, melalui Logos-nya, manusia bisa terhindar dari ketiadaan karena Tuhan sajalah yang merupakan wujud sempurna. Jika logos pun merupakan makhluk biasa, dia tidak akan mampu menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Logos dibuat menjadi daging untuk member hidup kepada kita (hal. 159). Dalam pandangan baru ini, sang Putra lebih terkenal dari sang Bapa, pemusatan peribadatan lebih tertuju pada Yesus bukan kepada sang Bapa. [5] Idem, hal. 26 [6] Richard Elliot Friedman, Who Wrote The Bible, (New York : Perennial Librabry, 1989) hal. 15-17 sebagaimana dikutip Adian Husaini dalam , Mengapa Barat a Sekular-Liberal, hal. 23 [7] Adian Husaini, Idem, hal. 6 [8] Adian Husaini, Idem, hal. 15 [9] Phillip J. Adler, World Civilization (Belomont : Wasworth, 2000) hal. 322 [10] “Tulisan ini diambil dari makalah yang ditulis Mr. Fan Yew Teng yang berjudul Kejahatan Atas Kemanusiaan : Rapor Merah Barat Tentang Hak Asasi Manusia”. Disampaikan pada Konferensi Internasional bertajuk“Rethingking Human Rights” yang diselenggarakan oleh Just World’s Trust (JUST) pada bulan Desember 1994 di Kuala Lumpur Malaysia. Dibukukan dengan Judul “HUMAN’S WRONG, Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia”penerbit Pilar Media Yogyakarta Oleh Chandra Muzaffar et. al”. [11] http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=242%3Akontradiksi&catid=2%3Ahamid-fahmy-zarkasyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas kunjungan anda,kami berharap adanya komentar/masukan yang bersifat membangun agar pelayanan kami menjadi lebih baik
Template by : kendhin x-template.blogspot.com